Saturday 25 June 2011

Bahaya merasa telah mengikuti alquran dan sunnah padahal masih awam dan taqlid

Pekanbaru, 26 Juni 2011

Adanya kecenderungan saat ini, dengan selogan “kembali kepada aquran dan sunnah”, sehingga menyepelekan pendapat ulama mujtahid. Seseorang terlalu gampang beramal hanya dengan membaca 1 atau 2 ayat dan hadist saja.

Kaum muslimin pada umumnya, bila ditanyakan dalil dalam suatu amalan agama, biasanya cenderung tidak mampu menjawab. Di indonesia umumnya, bila ditanya tentang mazhab, maka kecenderungan menjawab adalah “saya bermazhab syafii”. Walaupun sebenarnya yang lebih tepat adalah “saya bermazhab orangtua saya”, atau “saya bermazhab dengan kebiasaan ditempat saya”

Posisi atau gambaran diatas, menunjukkan bahwa kebanyakan dari kita masih dalam posisi taqlid dalam menjalankan agama. Kondisi seperti ini sangat rawan dan gampang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ingin menanamkan kepahamannya, baik itu kelompok yang jelas-jelas tergolong aliran sesat, ataupun kelompok yang masih dalam ruang lingkup/koridor islam itu sendiri. Hanya dengan berbekal 1 atau 2 hadist, atau 1 atau 2 ayat saja, seseorang bisa dengan mudah dipengaruhi. Tidak cukup sampai disitu, selain mempengaruhi dalam tatacara beramal, juga dengan mudah berbalik arah menghukumi tatacara beramal masyarakat umumnya adalah salah,lemah, bid’ah, dan sebagainya..!

orang-orang seperti ini gampang terjebak dengan pemahaman agama yang timpang, terbius dengan kalimat “kembali kepada alquran dan sunnah”, kemudian dengan serta merta “yang penting ada dalil alquran dan hadist” nya. Jika tidak ada dalil quran dan sunah secara tekstual dan shohih tanpa ikhtilaf para muhaddist, maka sangat gampang mengcap bid’ah, tertolak, yang ujungnya memandang bahwa pelaku akan masuk neraka. padahal ulama terdahulu memiliki methode-methode dalam istimbath hukum, tidak sekedar tinjauan teks literatur dan sanad hadist saja.

Teringat ketika awal saya mempelajari agama dari buku-buku agama yang ada, buku-buku hadist, artikel-artikel fiqh, saat itu saya mulai teracuni dengan konsep yang didengungkan diatas. Saya contohkan saja, ketika saya melihat ada ikhtilaf fiqh dalam soal qunut subuh, saat itu saya mendapatkan tulisan dari orang-orang yang membid’ahkan qunut subuh. Tulisan itu mengemukakan segala dalil tentang qunut subuh yang kemudian dibantah satu persatu. Setelah semua dalil “berhasil” dipatahkan, kemudian barulah ditampilkan dalil dan pendapat-pendapat para ulama yang membid’ahkan perkara qunut tersebut. Wal hasil.., dari membaca tulisan itu, saya telah teracuni bahwa qunut subuh adalah bid’ah, ibadahnya akan tertolak, bahkan pelakunya terancam neraka. Untuk beberapa lama racun itu terus mengendap dalam diriku.

Kasus lainnya, ketika ada ikhtilaf fiqh tentang zikir dengan mengeraskan suara sehabis sholat, saat itu saya mendapatkan tulisan yang menbid’ahkan perkara tersebut, tulisan yang sangat terkesan komprehensif dalam membahas perkara tersebut, lengkap dengan dalil, pendapat ulama terdahulu berkenaan dalil tersebut, kemudian diikuti tafsir dari dalil-dalil tersebut. Wal hasil.... pikiranku juga teracuni bahwa mengeraskan suara disaat wirid sehabis sholat adalah perbuatan bid’ah, yang tertolak, yang ujungnya memandang bahwa pelakuknya bisa-bisa masuk neraka.

Kasus lainnya, ketika ada ikhtilaf tentang jumlah rekaat sholat terawih, sebuah buku atau artikel ku baca yang ketika itu bagiku sudah konmprehensif dalam membahas perkara ini. Lengkap dengan dalil dan argumentasi yang mendukung jumlah terawih dan witir 20+3=23 rekaat, kemudian dipatahkan satu persatu, kemudian dimunculkan dalil-dalil dan argumentasi yang mendukung jumlah rekaat sebanyak 8+3=11, sehingga jadilah 11 rekaat sebagai pemenang dengan skor telak tanpa balas terhadap 23 rekaat. Wal hasil.. racun yang menyebabkan ku merasa sudah mantap dan berilmu dengan perkara ini, dan merasa bahwa lebih “SUNNAH” kalau 11 rekaat dibanding 23 rekaat telah mengendap dalam diri ini. Bahkan ku sempat berdebat dengan orangtuaku yang mendukung 23 rekaat.

Waktu berlalu seiring semakin banyaknya bacaan dan muzakarah dengan para ustadz, orang-orang sholeh, dan bergabung dengan komunitas muslim di dunia maya. Mulailah racun itu terkikis secara perlahan. Mulailah diri ini paham posisi diri sebenarnya dalam ilmu agama, yang sebelumnya merasa sudah “beramal dengan dalil yang shohih”, sekarang mulai merasa tertipu dengan penggiringan sepihak dari kelompok tertentu dalam beramal.

Waktu yang berjalan telah mengungkap pandangan-pandangan lain dari apa yang saya baca dan pahami sebelumnya. Saya mulai paham ternyata 1 dalil yang sama bahkan bisa beda penafsiran. 1 dalil yang sama bisa beda para mujtahid dalam istimbath (mengambil hukum).

Terungkap bahwa banyak sekali generasi salafussholeh yang mendukung qunut shubuh, bahkan lebih banyak yang mendukung qunut subuh dibanding yang tidak mendukung.

Terungkap bahwa zikir dengan mengeraskan suara juga memiliki dalil yang bisa diterima.

Terungkap juga bahwa sholat terawih dengan jumlah rekaat 23 sangat banyak ulama yang menghasilkan istimbath seperti itu.

Saya ingin menceritakan kejadian terakhir 2 minggu yang lalu, dalam sebuah kajian ilmiah di musholla tempatku kerja, membahas tentang puasa dibulan sya’ban. Dalam kajian tersebut sang ustad mengupas tentang dalil yang shahih puasa dibulan sya’ban :

Sebagai dalil pembuka ia ketengahkan dalil :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

siapa melakukan amalan yang bukan dari urusan (agama) kami, maka amalannya tertolak
[. Bukhari-Muslim]

kemudian sang ustad kemukan dalil shahih tentang puasa dibulan syaban :

‏عَنْ ‏ ‏عَائِشَةَ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ‏ ‏قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ‏

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956).

Kemudian sang ustad menjelaskan bahwa kebiasaan adanya kaum muslimin yang berpuasa sejak awal sya’ban sampai 10 hari, atau sejak awal sampai 15 hari (nifsyu syaban), atau sampai 20 syaban, adalah salah. lebih kurang ucapannya :

“bukan begini implementasi dari hadist ‘aisyah’ tersebut, dalil tersebut hanya menjelaskan bahwa rosulullah paling banyak berpuasa itu dibulan sya’ban, dan itu adalah puasa sunnah. Berkata Ibnu Hajar: Shaum beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Sya’ban sebagai puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Sya’ban. Dan beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.” Juga berkata Berkata Ibnu Rajab: Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya.. Jadi mengkhususkan waktu seperti itu tidak diajarkan dalam hadist tersebut, yang benarnya adalah memperbanyak puasa-puasa sunnah yang jelas dalilnya, seperti puasa senin kamis, puasa 3 hari pertengahan bulan, bahkan kalau mau puasa daud(sehari puasa sehari tidak).”

Sebagai seorang talabul ilmi, maka kita harus jeli melihat tiap ucapan yang datang dari sang ustad, kita harus mampu menangkap atau memisahkan mana dalil, mana syarahan dari para ulama terdahulu, dan mana pendapat ustad itu sendiri. Mampu memisahkan 3 hal tersebut sangat penting untuk kita bersikap. Sehingga kita tidak terjebak merasa sudah mengembalikan amal kita langsung kepada alquran dan sunnah, padahal kita hanya mengikuti pendapat ustad tersebut saja.

Kita perhatikan kasus diatas. Dalil hadist cukup jelas merupakan dalil amm/umum. Tidak menyebutkan nama puasanya, tidak menyebutkan waktu/hari-harinya, tidak menyebutkan tata caranya.

Perhatikan lagi bagian syarahan, ibnu hajar dan ibnu rajab mensyarahkannya pun masih bersifat umum, ia menjelaskan bahwa puasa tersebut adalah sebagai puasa sunnah.

Sisa dari dalil hadist dan syarahan ibnu hajar dan ibnu rajab itu adalah pendapat ustad itu sendiri. Menganggap “fahua rodd”(amalannya tertolak) orang yang berpuasa diawal sya’ban sampai beberapa hari yang ia sanggupi adalah murni pendapat ustad, bukan dari “al-quran dan sunnah”.

Talabul ilmi yang tidak mampu memilah ketiga hal ini menyebabkan kesalahan dalam pemahamanan, sehingga berkata kepada orang yang berpuasa beberapa hari diawal-awal sya’ban dengan ucapan “beramal itu harus mengikuti alquran dan sunnah sesuai pemahaman generasi shalafussholeh”, padahal yang ia pahami itulah adalah pendapat ustad, bukan pendapat al-quran dan sunnah, bukan pula ulama terdahulu.

seseorang pernah mengomentari dari sebuah email tentang adanya ajakan secara lembut untuk meninggal mazhab yang ada dan kewajiban mengikut al-quran dan sunnah semata, dengan mengutip ucapan ke empat imam mazhab yang bernada sama, yakni :

Imam Syafi’I rahimahullah berkata : “Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan. (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)

Maka pengirim email itu berkomentar lebih kurang ( beberapa kata sudah saya edit demi menjaga tidak terjadinya ketersinggungan kelompok tertentu) :

“Pernah di suatu masjid, ketika ana selesai shalat ada seorang ustadz yg mengisi kajian fiqh tentang shalat.Beliau berkata kurang lebih seperti ini " dalam shalat, kita harus benar-benar mengikuti Rasulullah, bukan mengikuti ajaran orang-orang tua kita, ustadz-ustadz kita, dan para ulama madzhab". "Ikuti sunah Rasulullh!". "Karena itu lupakan pelajaran-pelajaran yg pernah antum dapat! mari kita lihat langsung dari hadist-hadist bagaimana Rasulullah shalat".

Kemudian ustadz ini mengeluarkan buku "sifat shalat nabi" karangan salah seorang ulama timur tengah, dan sng ustad mengajak kita semua untuk mengikuti cara shalat yg disebutkan dalam buku tersebut.
Ana tertawa didalam hati..karena ana tahu di dalam buku tersebut, tidak hanya memuat hadist Rasulullah , tapi juga interpretasi dari syaikh tersebut terhadap hadist Rasulullah. Terdapat ijtihad Syaikh tersebut terhadap kekuatan riwayatnya juga ijtihadnya dalam memahami maksud hadist. Jadi ustadz tersebut mengajak orang meninggalkan Para Imam, dan diwaktu yg sama mengajak orang taqlid kepada syaikh tersebut.

Dan realita saat ini orang-orang yg bermadzhab dengan 4 madzhab terkenal sudah jarang sekali berselilsih. Yang banyak berselisih justru yg taqlid kepada ulama kontemporer termasuk taqlid kepada syaikh tersebut yang oleh pengikutnya digelar dengan “muhaddist zaman ini”. ironis! “
Ketahuilah untuk bisa melakukan istimbath hukum perlu perangkat keilmuan yg banyak. Jadi apa yg dikatakan para Imam madzhab tersebut bukan untuk kalangan awam seperti kita, tapi untuk ulama juga. Imam An-Nawai sudah menjelaskan maksud dari perkataan Imam Asyafi'i tersebut adalah untuk para ulama pada level tertentu, yg sudah mengkaji semua kitab karangan sang Imam. Orang awam dimanapun pasti taqlid (atau kalau tidak mau disebut taqlid, itiba'). Kalaupun tidak mau taqlid/itiba' dengan Imam madzhab pasti taqlid/itiba' dengan para syaikh atau ustadz-ustadznya."

Kita tidak bisa mengatakan kepada orang yang berpuasa diawal bulan sya’ban hingga beberapa hari menurut kesanggupan atau target yang ingin mereka capai sebagai suatu amalan baru yang diada-adakan tanpa dalil. Karena dalilnya umum berkenaan memperbanyak puasa, kemudian oleh ibnu hajar mengatakan puasa disini adalah sebagai puasa sunnah.

sebagaimana kita tidak bisa mengatakan orang-orang yang membiasakan diri melakukan kajian agama rutin tiap malam jum’at adalah mengkhususkan malam tertentu, karena dalil menuntut ilmu itu bersifat umum, jadi boleh hari apa saja dilakukan, boleh tiap malam jum’at, malam sabtu, tiap malam senin s/d kamis.

Sebagai contoh, perhatikan generasi terdahulu mengimplementasikan bulan saya’ban sebagai bulan para qori’ dengan menutup tokonya dan sibuk membaca quran :

Adalah Salamah bin Kuhail berkata:”Bulan ini adalah bulan membaca (alquran).Juga Habib bin Abi Tsabit apabila memasuki bulan Sya’ban berkata “Hadza Syahrul Qurra”( ini adalah bulannya para qori).Dan Umar bin Qois Al Mala-i apabila memasuki Sya’ban menutup tokonya untuk membaca Al Qur’an (Al Ghaflah ‘an Syahri Sya’ban http://www.rayatalislah.com/kalimah/chaabane1430.htm, )

Apakah lantas kita mengatakan bahwa umar bin qois tertolak bacaan qurannya karena tidak ada dalil yang menunjukkan secara eksplisit melakukan hal seperti itu? Tentu saja tidak.

Sebagai simpulan akhir dari tulisan ini, ingin ku sampaikan bahwa :
seorang awam dalam agama, masih memiliki jwa muda yang memiliki jasbah/semangat beragama, dengan gejolak jiwa yang ingin tampil beda melawan kebiasaan yang ada, namun tidak paham bagaimana proses dari terbentuknya sebuah istimbath hukum dalam suatu perkara, tidak paham dengan ranah ijtihad dan munculnya khilafiyah, tidak banyak mendengar atau membaca hadist, tidak mau membuka diri terhadap ulama atau ustad lain selain kelompoknya, ta’ashub(fanatik) terhadap syeikh dan kelompoknya, seorang yang awam seperti ini terlalu rawan untuk diracuni dengan pemahaman tertentu, baik itu pemahaman yang jelas jelas disepakati menyimpang oleh jumhur umat islam, maupun pemahaman yang merasa paling benar dalam beragama dengan selogan-selogan “kembali kepada al-quran dan sunnah”.

== icun bin abdullah ==

Comments
9 Comments

9 comments:

  1. Saya ingin berbagi cerita yg diceritakan seorang teman.. ada sebuah masjid yg para jama'ahnya berbeda pendapat soal jumlah rakaat tarawih 11 atau 23..

    akhirnya demi perdamaian maka dibagilah dua kelompok sholat tarawih berjama'ah yg dipimpin imam berbeda, yaitu imam 23 rakaat dan imam 11 rakaat..

    yang menjadi kelucuan adalah mereka sholat tarawih berjama'ah dengan imam & jumlah raka'at yg berbeda, tetapi pas selesainya malah berbarengan.. :D hi hi hi..

    sudah menjadi fenomena umum bahwa di negeri kita yg menjalankan shalat tarawih 23 raka'at dilakukan begitu cepat, secepat kilat, seperti ayam “matuk”. Ini kan sama saja tidak ada thuma’ninah. kadang al-Fatihah pun putus satu nafas saja... :)

    sekedar ingin berbagi cerita saja.. :)

    salam

    ReplyDelete
  2. Saya setuju pada komentar Bang Firdaus, bahwa fenomena umum di negeri kita melaksanakan sholat firdaus 23 rakaat dengan begitu cepat. Alfatihah kadang satu nafas. Ya, terhadap imam yang demikian sangat kita sayangkan. Bagi makmum yang berpendapat membaca Alfatihah masing-masing setelah Alfatihah imam biasanya akan keteteran, sebab di rakaat kedua imam selalu membaca surat Al Ikhlas juga dengan satu nafas.
    Tapi meski demikian banyak juga imam yang bagus. Biasanya imam yang bagus, bacaannya lambat, thuma'ninahnya pas, justru umumnya kurang disukai kebanyakan jamaah. Jamaah sholat tarawih biasanya mengidolakan imam yang cepat. Dengan melihat jadwal imam yang ditempel di papan pengumuman, mereka akan menentukan kapan saatnya meramaikan masjid atau musholla. Nah, inilah tugas kita semua. Tugas kita untuk mengajak jamaah demikian untuk kembali memakmurkan masjid atau musholla tanpa membedakan imam yang bacaannya lambat dengan yang bacaannya cepat. Gimana Akhi Icun Abra, bukan begitu?

    ReplyDelete
  3. Maaf, koreksi untuk komentar saya diatas, maksudnya Sholat Taraweh 23 rakaat. Saya kurang kosentrasi, sekali lagi mohon maaf.

    ReplyDelete
  4. lambat atau cepat bacaan imam bukan suatu permasalahan, yang menjadi permasalahan adalah ketika imam membaca tidak benar, salah dalam makhroj dan tajwidnya. kalau imam sudah tidak baik bacaannya, maka lambat atau cepat akan menghasilkan hasil yang sama. jadi masalah utama adalah saat ini kaum muslimin krisis imam, imam dipilih karena umurnya saja. imam yang faham dengan ilmu quran, insyaAllah bagaimanapun ia berusaha cepat membaca, ia tetap akan menjaga bacaannya. seseorang pernah bercerita dimesjid tempat ia kost waktu kuliah dahulu sholat terawihnya 11 rekaatnya, namun karena imamnya tidak hafal surah-surah panjang, maka imam cendurung melambat-lambatkan bacaannya dari yang biasanya, dan ternyata ini menyebabkan ke-tidaknyaman-an juga.

    Alhamdulillah ramadhan tahun ini Allah izinkan saya untuk berziarah ke mesjid nabawi dan mesjid haram. dikedua mesjid tersebut melaksanakan sholat terawih 20+2+1 ( 20 terawih, dengan witir yang dipisah 2+1), di sholat witir terakhir ditambah qunut yang panjang. bacaan para imam murottal dan cepat. jika waktu diperlukan untuk sholat 23 rekaat dengan bacaan 1 juzz quraan sekitar 1 jam. maka berapa menit waktu yang diperlukan untuk sholat 23 rekaat dengan surat-surat pendek yang banyak terjadi di mesjid-mesjid di indonesia?.

    mengenai sholat terawih yang terlalu cepat sehingga bersalahan, sering dijumpai didaerah pinggir atau kampung-kampung, dan itu saya akui. namun untuk didaerah perkotaan, insyaAllah fenomena itu sudah mulai jarang terjadi.

    fenomena yang saya lihat saat ini, masyarakat memilih terawih 11 rekaat bukan berdasarkan karena kekuatan dalil yang diyakini setelah mereka tela'ah , tapi lebih kepada singkat dan ringan. artinya, permasalahannya bukan dalil, tapi permasalahannya iman yang lemah.

    hari raya ini saya ketemu dengan imam mesjid di damai langgeng, selama ini mereka sholat 11 rekaat dengan total bacaan ayat sekitar setengah juzz, untuk tahun depan ia(imam) telah mengumumkan kepada jemaah mesjid tersebut bahwa terawih 23 rekaat dengan total bacaan 1 juzz.

    ==============================
    makmum 23 rekaat : "mam, bacanya ngebut sikit ya?"
    Imam 23 rekaat : "oke mum, kali ini kita ngebut banget!!"
    ==============================

    makmum 11 rekaat : "klo sholat itu, bacanya harus lama.. harus lama..."
    makmum 23 rekaat : "imam kamu lelet ya..??"

    ReplyDelete
  5. Sholat Sunah berapapun rakaatnya tidak baca surah setelah fatihah bolehkah?

    ReplyDelete
  6. Mat Gatrix : klo berdasarkan fiqih boleh alias sah saja mas. tapi rugi dan kehilangan sunnah mas. untuk dalilnya mas rajab yang lebih paham.. :)

    ReplyDelete
  7. Kaum muslimin pada umumnya, bila ditanyakan dalil dalam suatu amalan agama, biasanya cenderung tidak mampu menjawab. Di indonesia umumnya, bila ditanya tentang mazhab, maka kecenderungan menjawab adalah “saya bermazhab syafii”. Walaupun sebenarnya yang lebih tepat adalah “saya bermazhab orangtua saya”, atau “saya bermazhab dengan kebiasaan ditempat saya”

    Saya tertarik dengan tulisan diawal tulisan ini. Karena saya saat ini sedang suka membaca baca tentang yang ada di KTP saya, hehehe. Memang pada kenyataan yang terjadi, banyak saya temui yang berkata, Kalau saya sih Islamnya biasa biasa saja. Atau katanya, kata ustadz. Terus terang saya mencoba mempelajari Al Quran dan Sunnah rata2 dari internet ini, sebab dari internet ini sebenarnya banyak hal hal positif yang bisa kita ambil, sebanyak hal hal negatif yang bisa juga kita ambil. Seperti mungkin karena saya sangat kurang paham dalam membaca tulisan arab, apalagi buat menjadi mengerti tulisan arab tersebut, hingga saya sering membaca dari terjemahannya di bahasa yang saya mengerti, bahasa Indonesia. Banyak khan situs2 yang menyediakan hal tersebut ? Spt yg sering saya melihat http://quranterjemah.com dan http://quran.com . Tetapi ada dan banyak saya rasa yang merasa atau takut atau malah seperti merasa saya seperti tersesat, karena tiada yang membimbing, lebih kurang mengatakan barang siapa belajar tanpa agama tanpa guru, gurunya adalah syaitan laknatullah hehehe,... hmmm, mungkin bisa juga kali ya, tapi dalam pemikiran saya, seperti yang bapak utarakan disini, sering malah para ahli yang mengatakan atau mengutarakan Hadist yang Shahih, tetapi juga mengatakan apa atau mungkin lebih tepatnya mendomplengkan pemikirannya akan Hadist tersebut, yang mungkin akan menjadi meresap ke dalam pemahaman kita seolah2 memang adalah pemahaman sebenarnya Hadist Shahih tersebut. Seperti juga banyak dikatakan di dalam Al Quran dengan nada Tuhan memberi petunjuk kepada yang diinginkanNYA, saya rasa jadi di saat sekarang ini sudah sangat sukar untuk membedakan yang mana yang benar dan yang mana yang sesat, tanda tanda akhir zaman saya rasa. Yang bisa kita lakukan seperti bunyi kira2 sebuah hadist tentang gigitlah dengan geraham. Saya merasakan Islam itu sangat mudah, asal kita mencoba Membaca pedoman Islam tersebut. Semua yang dikatakanNYA selaras, tak satupun yang berbenturan, harusnya saling mendukung antara satu dengan lainnya atau dengan Sunnah dan Hadist. Jika kita merasakan seperti berbenturan atau ada yang terlemahkan dan tidak mendukung antara ayat atau Hadist, baru carilah seorang yang bisa membimbing kita, jangan lupa memohon kepadaNYA supaya diberi petunjuk dan bimbinganNYA, jangan sampai nanti malah tersesat, hehehe. Zaman Sekarang, Zaman Milenium, Jahiliyahnya pun mengikuti perkembangan Zaman, seperti berhalanya juga lebih Canggih, bisa dilipat dan masuk dompet mas :d. Wah jadi panjang banget yak nih komentar.

    ReplyDelete
  8. Assalamualaikum,

    Salam kenal Syeh, ana izin copas ya
    ana tertarik dg kupasan antum, moga Allah slalu
    beri paham insya Allah

    ReplyDelete
    Replies
    1. silakan pak Dizu, moga Allah pahamkan kita terhadap agama ini, amiiinn

      Delete