Tuesday, 27 September 2011

Mengejar Dunia Dengan Alasan Akhirat

Pekanbaru, Selasa 27 September 2011 / 28 Syawal 1432H.
Mengejar Dunia Dengan Alasan Akhirat ( upaya legalitas keinginan nafsu )


"kalau kita kaya, kita bisa bersedekah, berinfak, membantu fakir miskin, menolong orang susah, membangun mesjid, mendirikan Madrasah, dan sebagainya. jadi dengan kaya lebih bisa banyak berbuat kebaikan sehingga lebih banyak meraup pahala"

kalimat diatas atau semakna dengannya sering dilontarkan oleh orang-orang yang sedang memiliki niat untuk mendapatkan kekayaan dunia, namun tidak ingin disalah-artikan oleh orang lain sebagai pengejar dunia. seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa kesibukan mereka terhadap dunia ini adalah untuk kemaslahatan umat islam dan akhiratnya.

Kalimat lainnya yang biasanya mengiringi kalimat diatas : “bekerja kan mendapat pahala juga, mencari uang kan mendapat pahala juga“

kebanyakan dalil yang digunakan untuk menguatkan pendapat diatas adalah kehidupan sahabat-sahabat nabi Muhammad SAW yang ALLAH telah takdirkan kaya terhadap mereka, seperti halnya usman bin affan dan abdurrahman bin auf radhiyallahu'anhuma.

Abu Hurairah berkata; "Utsman bin Affan sudah membeli surga dari Rasulullah dua kali; pertama ketika mendermakan hartanya untuk mengirimkan pasukan ke medan perang, Kedua ketika membeli sumber air (dari Raimah)"(HR.Tirmizi).
usman menyumbang 20.000 ribu dirham untuk sumur milik orang yahudi. di perang tabuk usman bin affan telah berinfak 300 unta dan 1.000 dirham.

kisah sahabat abdurrahman bin auf ra. tidak kalah menariknya, ia berinfak sebanyak dua ratus uqiyah ketika perang tabuk. ketika Rasulullah menanyakan apa yang ia tinggalakan untuk keluarganya, maka Abdurrahman menjawab, "Ada, ya Rasulullah. Mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripda yang saya sumbangkan." "Berapa?" Tanya Rasulullah. Abdurrahman menjawab, "Sebanyak rizki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."

Masih banyak lagi kisah kedermawanan para sahabat yang kaya. Cerita-cerita seperti ini sering dikumpulkan untuk dijadikan dalil dalam upaya legalitas aktifitas keduniaan orang-orang diatas.

BENARKAH SEMAKIN BANYAK HARTA AKAN BANYAK KEBAIKAN YANG BISA DIBAGI?

sekilas statment "semakin banyak harta semakin banyak kebaikan yang bisa dibagi dan menghasilkan pahala yang lebih banyak" sangat bisa diterima, terutama dari pandangan jumlah atau besaran yang diderma dengan satuan ukuran yang tampak atau lahiriah. Sudut pandang seperti ini hanya mengukur berapa besar nilai harta yang diderma, sehingga nilai atau angka 100 yang diderma akan dianggap lebih mulia dibanding angka 10. Seseorang yang berinfak dengan seekor sapi lebih berpahala dibanding seseorang yang berinfak dengan seekor kambing. memberi anak yatim dengan nasi bungkus dari rumah makan lebih berpahala dibanding seseorang yang memberi makan anak yatim dengan makanan yang biasa dimakan sehari-hari.

Ternyata melihat dari sudut pandang jumlah atau besaran derma yang diberikan seperti diatas tidak cukup. Kebaikan itu tidak saja dinilai dari satuan besaran derma, jauh dari  itu ALLAH mengganjarkan pahala kebaikan seseorang itu dari satuan besaran mujahadah dan keikhlasan. 10 dinar dengan 100 dinar yang diinfakkan tidak berarti lebih banyak pahala orang yang berinfak 100 dinar, karena yang dilihat itu seberapa mujahadahnya pengorbanan antara 10 dengan 100 dinar tersebut.

Dari abu hurairah r.a, ia berkata bahwa seseorang telah bertanya kepada Nabi SAW., “Ya Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?” Rasulullah saw bersabda, “Bersedekah pada waktu sehat, tamak kepada harta, takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi kaya. Janganlah kamu memperlambatnya sehingga maut tiba, lalu kamu berkata, ‘ harta untuk sifulan sekian, dan untuk sifulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik sifulan (ahli waris)” (HR Bukhari,Muslim – Misykat).

Dari abu hurairah ra. Bertanya, “Ya Rasulullah, sedekah manakah yang paling baik?” Rasulullah saw. Menjawab, “Sedekah yang dikeluarkan oleh orang yang tidak mampu. Dan mulailah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu (HR. Abu Daud – Misykat).

Didalam kitab fadhail shadaqah, setelah mengutip hadis diatas, Maulana muhammad zakaria al-kandahlawi rah.a. mengemukakan sebuah riwayat hadist dari Ali r.a. “Ali ra berkata bahwa tiga orang datang kepada Rasulullah saw. Salah seorang diantaranya berkata, “wahai Rasulullah, saya mempunyai uang seratus dinar, saya telah membelanjakannya sepuluh dinar dijalan Allah.” Kemudian orang kedua berkata, “Saya mempunyai uang sepuluh dinar, dan saya telah menyedekahkannya satu dinar.” Orang ketiga berkata, “Saya hanya mempunyai 1 dinar, dan saya menyedekahkannya sepersepuluh bagian dari uang tersebut.” Rasulullah saw bersabda, “pahala kalian sama, karena kalian bersedekah dengan sepersepuluh dari harta yang kalian miliki.”

Dalam hadist lain menyebutkan kisah semacam ini, Rasulullah saw menjelaskan jawaban atas pertanyaan mereka, bahwa mereka memperoleh pahala yang seimbang karena masing-masing telah menyedekahkan sepersepuluh harta mereka. Setelah bersabda, Rasulullah saw. Membaca ayat terakhir dalam ruku’ pertama surat ath-thalaq :

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuan-nya. Dan barang siapa yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah tideak membebani seseorang melainkan (sekedar kemampuan) yang diberikan Allah kepadanya. Kelak Allah akan memberi kelapangan sesudah kesempitan”(QS: Ath_Thalaq:7). (Kanzul-ummal).

‘Allamah Suyuti rah.a dalam kitab Durul manstur telah memberi keterangan tentang ayat diatas, yaitu sebuah kisah mengenai sahabat sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ali r.a. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadist yang shahih yang menyatakan bahwa bersedekah satu dirham dapat menjadi lebih besar dari seratus ribu dirham dari segi pahalanya. Yaitu, apabila seseorang mempunyai uang sebesar dua dirham, kemudian ia menyedekahkannya sebesar satu dirham dijalan Allah. Dan orang lain yang mempunyai harta yang banyak dan menyedekahkannya hanya seratus ribu dirham, maka satu dirham yang disedekahkan orang pertama mempunyai pahala yang lebih banyak.

Hal yang menarik lainnya adalah pemilik harta belum tentu mendapatkan pahala lebih dari pada orang suruhannya. Misalnya seorang raja memberikan sebuah delima kepada seorang bawahannya untuk diberikan kepada seseorang yang sakit di sebuah kampung yang letakknya sangat jauh, maka apa yang dilakukan pegawai tersebut lebih berharga dibandingkan apa yang dilakukan oleh raja (Aini).

“Al ajru ‘ala qadrinnashob” (sesungguhnya pahala itu tergantung pada jerih payahnya).

Kalau kita cermati kisah perang tabuk, yang paling banyak dermanya saat itu adalah utsman bin affan r.a. dengan 300 unta + 1000 dinar. Tapi kisah yang terkenal bukan tentang sedekahnya utsman, melainkan abu bakar dan umar yang telah menyedekahkan seluruh harta dan separuh hartanya. Padahal seluruh harta yang dinfakkan abu bakar r.a. ketika itu tidak sebanyak apa yang diinfakkan utsman bin affan r.a. Begitu juga dengan umar bin khattab r.a., ia tidak menghitung total jumlah kesulurahan harta abu bakar untuk dibandingkan dengan jumlah total harta yang diinfakkannya, namun umar hanya melihat bahwa abu bakar telah menginfakkan "SELURUH HARTA" sedangkan ia hanya "SEPARUH HARTA".

Umar bin Khaththab r.a. menuturkan, "Rasulullah saw. menyuruh kami bersedekah. Kebetulan saat itu aku memiliki cukup banyak harta sehingga aku sempat berkata dalam hati, hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakar r.a., jika memang berhasil mengalahkannya.’ Aku menemui Rasulullah saw. dengan menyerahkan se-tengah hartaku. Rasulullah saw. bertanya, 'Berapa yang engkau sisakan untuk keluargamu?' Aku menjawab, 'Sebanyak yang kuserahkan ini.’ Kemudian datanglah Abu Bakar r.a. dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah saw. bertanya, 'Hai Abu Bakar, berapa yang engkau sisakan untuk keluargamu.' Abu Bakar menjawab, 'Aku menyisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.' Aku berkata dalam hati lagi, 'Demi Allah, aku tidak akan pernah dapat mengalahkannya'." (HR Tirmidzi) ( Diriwayatkan olel1 Tirmidzi, Kitab al-Manaqib; Bab fi Manaqib Abi Bakr, no.3675. Tirmidzi berKata, "Hadits ini hasan shahih".)

Umar merasa dirinya telah kalah dari abu bakar bukan karena banyaknya harta yang diinfak, tapi pengorbanan dan kecintaan terhadap agama yang menjadi acuan standarnya, umar masih menyisakan setengah hartanya, sementara abu bakar telah sepenuhnya berkorban untuk agama ini.

TIDAK BERCERMIN DENGAN KEHIDUPAN SAHABAT SECARA KESELURUHAN.

kalau kita perhatikan kehidupan sahabat secara komprehensif, maka kita akan melihat bahwa para sahabat adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan perkara agama. ada sahabat yang habis hartanya karena agama, ada sahabat yang hartanya tetap atau tidak bertambah atau berkurang, ada juga sahabat yang rezekinya melimpah bertambah walaupun sudah habis-habisan menginfakkan hartanya. Tidak akan kita jumpai sahabat menyibukkan diri dan waktunya untuk mengumpulkan harta dengan alasan akhirat. Dahulu abu bakar r.a. adalah saudagar yang kaya, kemudian hartanya habis karena agama. Dahulu khadijah r.ha. adalah wanita yang kaya, kemudian hartanya habis untuk agama.

Utsman bin affan r.a. adalah pedagang, tapi kekayaannya bukan karena ia menyibukkan diri dengan perdagangannya. Abdurrahman bin auf r.a. juga pedagang yang kaya, tapi kekayaannya bukan karena ia menyibukkan diri dengan perdagangannya. utsman bin affan dan abdurrahman bin auf memang ALLAH telah takdirkan menjadi pedagang besar yang memasok barang dagangan dari syam. mereka tidak pernah meninggalkan panggilan jihad karena perdagangannya.

Intinya adalah : para sahabat berlomba-lomba untuk akhirat sesuai dengan kemampuannya. dan tiap sahabat memiliki kemuliaan tersendiri dari apa yang mereka usahakan terhadap akhiratnya. mereka tidak melihat bahwa jalan terbaik untuk mendapatkan akhirat adalah dengan banyak harta. bahkan... sahabat adalah orang-orang yang tidak peduli apakah hartanya berkurang atau bertambah karena agama.

Begitulah agama.., tiap orang bisa mulia dengan apa yang ia miliki. tiap orang bisa bahagia walau bagaimanapun kondisinya, tiap orang bisa saling berlomba untuk akhirat walau memiliki kapasitas yang berbeda.

orang kaya bisa berdalil dengan keutamaan berinfaknya.
orang miskin bisa berdalil dengan keutamaan seorang yang miskin ( 500 tahun lebih dahulu masuk surga dibanding kaya, dsb..)
orang berilmu bisa berdalil tentang keutamaan ilmunya.
orang yang hapal aquran bisa berdalil dengan keutamaan para huffaz.
orang yang terbata-bata membaca quran pun bisa berdalil dengan keutamaan orang yg bersungguh-sungguh membaca, sehingga mendapat 2 pahala.
imam bisa berdalil dengan keutamaan seorang imam, muazin pun bisa berdalil dengan keutamaan muazzin.
Sahabat-sahabat nabi bisa berdalil tentang keutamaannya, umat akhir zaman pun bisa berdalil dengan keutamaan umat akhir zaman.

intinya adalah : siapa pun, kondisi bagaimanpun, di zaman apa pun, di posisi manapun, bisa meraup pahala yang besar untuk akhiratnya, bisa memiliki andil besar untuk kebaikan, bisa saling berlomba menggapai ridho ALLAH, bisa saling bersaing mendapatkan surga yang tertinggi.

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuan-nya. Dan barang siapa yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah tideak membebani seseorang melainkan (sekedar kemampuan) yang diberikan Allah kepadanya. Kelak Allah akan memberi kelapangan sesudah kesempitan”(QS: Ath_Thalaq:7)

TIDAK PERLU BANYAK HARTA UNTUK KEJAR AKHIRAT, BAHKAN SI MISKIN LEBIH BERANI DAN BANYAK BERKORBAN DI BANDING SI KAYA.

Harta bukanlah hal yang tertinggi dalam jajaran tingkat pengorbanan agama karena azaz pengorbanan agama itu meliputi dua hal, yakni diri dan harta. Alllah selalu menggandeng dua hal ini ketika berbicara tentang pengorbanan terhadap agama :

"Berangkatlah engkau semua, dengan rasa ringan atau berat dan berjihadlah dengan harta-harta dan dirimu semua fisabilillah." (at-Taubah: 41)

"Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman dengan memberikan syurga untuk mereka, mereka berperang fisabilillah, sebab itu mereka dapat membunuh dan dibunuh, menurut janji yang sebenarnya dari Allah yang disebutkan dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih dapat memenuhi janjinya daripada Allah? Oleh sebab itu, bergembiralah engkau semua dengan perjanjian yang telah engkau semua perbuat dan yang sedemikian itu adalah suatu keuntungan yang besar." (at-Taubah: 111)

"Tidaklah sama antara orang-orang yang duduk-duduk -di rumah yakni tidak mengikuti peperangan- dari golongan kaum mu'minin yang bukan karena keuzuran, dengan orang-orang yang berjihad fisabilillah dengan barta-harta dan dirinya. Allah melebihkan tingkatan orang-orang yang berjihad dengan harta-harta dan dirinya itu daripada orang-orang yang duduk-duduk tadi. Kepada masing-masing dari kedua golongan itu, Allah telah menjanjikan kebaikan dan Allah lebih mengutamakan orang-orang yang berjihad daripada orang-orang yang duduk-duduk dengan pahala yang besar, yaitu berupa derajat-derajat -yang tinggi, juga pengampunan dan kerahmatan daripadaNya dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang." (an-Nisa': 95-96)

"Hai sekalian orang-orang yang beriman. Sukakah kalau saya tunjukkan kepadamu semua akan sesuatu perdagangan yang dapat menyelamatkan engkau semua dari siksa yang menyakitkan? Yaitu supaya engkau semua beriman kepada Allah dan RasulNya dan pula berjihad fisabilillah dengan harta-harta dan dirimu semua. Yang sedemikian itu adalah lebih baik untukmu semua, jikalau engkau semua mengetahui. Allah juga akan mengampunkan dosa-dosamu semua serta memasukkan engkau semua dalam syurga-syurga yang mengalirlah sungai-sungai di bawahnya, demikian pula beberapa tempat tinggal yang indah di syurga 'Adn -kesenangan yang kekal- dan yang sedemikian itu adalah suatu keuntungan yang besar. Ada pula pemberian-pemberian yang lain-lain yang engkau semua mencintainya, yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman." (as-Shaf: 10-13)

Dilihat dari ayat-ayat diatas, ternyata azaz dari pengorbanan itu adalah diri dan harta. Seseorang itu disebut sempurna pengorbanannya untuk agama bila dirinya ikut terjun berjihad dengan hartanya sendiri. Dahulu sahabat nabi berjuang dengan dirinya dan hartanya masing-masing. Sahabat-sahabat yang tidak memiliki harta, bila ada perintah jihad, maka ia berusaha bekerja untuk mendapatkan harta dengan bekerja atau mengambil upah dan kemudian dengan harta itu ia berangkat berjihad. Sahabat-sahabat yang benar-benar tidak memiliki harta pun berangkat dengan harta orang lain. Yang tersisa dari itu adalah sahabat-sahabat yang memang memiliki keuzuran ( faktor usia, kondisi fisik yang lemah, dsb) sehingga hanya hartanya saja yang diinfakkan tanpa dirinya ikut serta. Dari hal ini dapat terlihat bahwa tingkat atau keutamaan berkorban dengan diri jauh lebih utama dari berkorban dengan sekedar harta.

".....Kepada masing-masing dari kedua golongan itu, Allah telah menjanjikan kebaikan dan Allah lebih mengutamakan orang-orang yang berjihad daripada orang-orang yang duduk-duduk dengan pahala yang besar, yaitu berupa derajat-derajat -yang tinggi, juga pengampunan dan kerahmatan daripadaNya dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang." (an-Nisa': 95-96)

Dari bukti empiris di lapangan, ternyata yang terjadi di dunia dakwah adalah si miskin lebih berani berkorban untuk agama dibanding yang banyak harta. Si miskin lebih tangguh untuk meninggalkan pekerjaannya demi agama. Si miskin lebih sanggup untuk bersusah-susah dilapangan dibanding yang kaya. si miskin sanggup dengan resiko mati dalam da’wah dibanding yang banyak harta. Si miskin lebih tahan banting menerima tekanan dan hinaan dalam dakwah. Si miskin lebih berani meninggalkan harta dan keluarganya dibanding yang kaya.

Dan si kaya…, hanya berani memberi harta tanpa sanggup terjun langsung ke kancah da’wah dilapangan. Tidak sanggup berpanas-panas, tidak sanggup kelaparan, tidak sanggup terluka, tidak sanggup kerja kasar, tidak sanggup meninggalkan pekerjaan dalam waktu lama, tidak sanggup berpisah dengan rumah yang mewah menuju ke pelosok-pelosok negeri. Si kaya…., hanya memberi hartanya yang bahkan tidak sampai 1% dari hartanya untuk suatu keperluan agama.

=====================
kalau ada orang yang meninggalkan jabatan karena agama, maka ku cenderung percaya. tapi kalau ada orang yang mengejar jabatan dengan alasan agama atau akhirat, ku cenderung tidak percaya.

kalau ada orang yang sibuk menginfakan hartanya karena alasan agama, maka ku cenderung percaya. tapi kalau ada orang yang sibuk mencari harta dengan alasan agama dan ingin banyak pahala nantinya, maka ku ragu akan ketulusan niatnya.
==============

Icun bin abdullah

Comments
6 Comments

6 comments:

  1. Subhanallah, sangat bermanfaat dan membuka pikiran. kembali mengingatkan untuk meluruskan niat. terimakasih, wassalamualaikum, salam kenal.

    ReplyDelete
  2. ada tulisan yg sayang u/ dilewatkan.. (izin copas bang)
    luar biasa bang Icun. mudah2an kita semua selalu dijaga dalam keistiqomahan amal dakwah

    Abu Azra

    ReplyDelete
    Replies
    1. sile mas khaidir.., mudah2an bermanfaat dan menjadi amal soleh buat kita semua.. :)

      Delete
  3. jika ada orang yang pantas menjadi kaya maka orang beriman orangnya.

    ReplyDelete
  4. saya mau jadi yang kaya yang dermawan dari pada si miskin yang kikir..(loh loh..bener apa kataku ni?? :D)

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar tu Rony, tapi yang ngomong kayak gitu biasanya belom kaya.., hihihihi :D

      Delete