Lampu merah pun menyala, terlihat seorang lelaki tua
menawarkan koran kepada seorang bapak yang duduk di dalam mobil cantik. Terlihat
wajah lelaki tua tersebut begitu cerah, senyumnya pun sumringah, seolah tanpa
beban, walau hanya mengenakan topi yang lusuh
dan pakaian yang buram warnanya.
Terlihat dari balik jendela mobil yang bening,
pakaian dan rambutnya sangat cerah dan rapi, namun bapak yang duduk di mobil
cantik tersebut tidak mampu menutupi wajah kusutnya, tatapan hanya fokus pada lampu
merah, senyum hambar ia berikan kepada lelaki tua yang menawarkan koran tanda
ia tidak berminat untuk membelinya, mungkin ia punya setumpuk pekerjaan yang
menanti, atau ada beban lain yang menyelimuti.
Bahagia itu di hati.., bukan pada apa yang kita miliki.
Kesenangan mungkin bisa dibeli, tapi ketenangan datangnya dalam diri.
Gumamku…
Lampu Merah
Kenapa orang sering menyebutnya “lampu merah”, bukankah
masih ada dua warna lainnya, kuning dan hijau?. Mungkin karena warna merah
lebih dominan dibanding yang lain, atau lampu merah terletak paling atas
dibanding dua lampu lainnya, atau warna merah lebih lama hidupnya dibanding
yang lain.
Secara psikologi mungkin lampu merah merupakan
satu-satunya lampu yang membuat orang kesal, lampu yang tidak diinginkan
keberadaan hidupnya, sehingga lebih melekat dihati. “Uhh.. kena lampu merah pulak
ni, padahal mau cepat…” gumam dalam hati.
Hmmm… itulah kita
manusia, sering melihat apa yang kita kesalkan, lebih lekat dihati apa yang
tidak kita sukai, sehingga hal-hal tersebut lebih sering ditonjolkan ketika
berbicara. Padahal masih ada dua lampu yang kita sukai akan keberadaan
hidupnya, namun lenyap tenggelam dalam pembicaraan.
nb : Inspirasi lampu merah di pertigaan kota panam pagi
ini … Pekanbaru, 25 Januari 2014
== icun bin abdullah ==