Thursday 7 April 2011

Perbedaan itu wajar, perselisihan itu kurang ajar!!

Pekanbaru, 8 April 2011

Teringat sebuah kejadian yang dialami salah seorang kerabat kami, yang merupakan salah satu imam disebuah mesjid, kejadian ini terjadi setelah sholat fardhu.

Anak muda : saye mau nanye ni pak aji, ade tak dalil berzikir dan berdoa berjamaah sehabis sholat ??

Pak aji : saye tau maksud awaktu(=kamu, red), sebetulnye awaktu bukan nak bertanye, ujung dari pertanyaan ini adalah menyalahkan ape yang telah lame dibuat di mesjid kampung ni, saye kenal betol kelompok tempat awaktu mengaji. Begini ajelah, saye ni cukup kenal dengan keluarga awaktu, saye kenal dengan orangtue mike(=kamu, red), jangan sampai gara-gara perbuatan awaktu menyebabkan rusak hubungan baik sesame saudara muslim dikampung ni. Kalau awaktu merase ape yang awaktu buat betol, buatlah sesuai kepahaman ilmu yang didapat, kami juge buat ape yang kami pahami, jangan nak menyalahkan orang lain.

Jawaban yang diberikan oleh pak aji itu bukan tidak beralasan, sudah beberapa kali anak muda itu ‘menyerang’ orang-orang kampung dengan berlagak dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Kejadian-kejadian seperti ini sering terjadi di berbagai tempat, tidak jarang dialog seperti itu jika dilayani menimbulkan sengketa, perselisihan, rusaknya persaudaraan sesama muslim. Karena yang bertanya bukan niat bertanya, yang ditanya tidak mampu menjawab sesuai dengan keinginan yang bertanya. Sehingga hal ini menimbulkan perasaan “merasa diatas yang Haq” bagi yang bertanya, dan menimbulkan perasaan “disudutkan” bagi yang ditanya.

Sebenarnya dari beberapa kejadian yang mencuat kepermukaan, yang bertanya tidak lebih baik dari yang ditanya, baik dari segi ilmu ataupun amal. Andaikan kita balik pertanyaan yang serupa yang berhubungan dalil dari apa yang ia amal kearah penanya, yakin dan percaya penanya pun tidak mampu menjawab disaat itu juga. Seperti anak muda diatas, andai ditanyakan ke anak muda tersebut mana dalil keharusan berdoa sendiri-sendiri, mana dalil larangan bersalaman setelah bubar dari sholat, dan beberapa hal yang ia perselisihkan, yakin sekali ia tidak mampu mengeluarkan 1 ayat atau sepenggal hadist. Paling bantar ia akan mengatakan “ada artikelnya dirumah, diartikel itu lengkap hujjahnya, kalau mau nanti saya kasi”. Jadi sebenarnya yang bertanya dan yang ditanya masih dalam posisi muqollid, Cuma saja yang bertanya merasa dalam posisi mubtabi’ dan merasa pintar.

Kebanyakan orang-orang seperti anak muda diatas adalah orang-orang yang baru mempelajari ilmu agama dari kelompok yang suka membid’ahkan, menyesatkan, bahkan sampai tingkatan takfir terhadap orang-orang yang menyelisihi pendapat mereka. Sehingga banyak anak muda yang dengan semangat beragamanya terpedaya dengan sikap-sikap yang telah dinampakkan oleh para syeikh dan ustadz-ustadz rujukan mereka. Anak muda yang terpedaya ini tidak memikirkan efek dari perbuatan mereka ditengah-tengah masyarakat, bahkan mereka tidak peduli jika muncul gesekan-gesekan dimasyarakat akibat perbuatan mereka. Bagi mereka yang haq harus ditegakkan, yang bathil harus ditumpaskan, perkara hal perbuatan mereka menjadi fitnah ditengah masyarakat tidak mereka pedulikan, mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka yang menyebabkan perpecahan ummat adalah dosa yang nyata. Padahal apa yang mereka perselisihkan adalah hal-hal furu’iyah dalam agama, hal-hal yang memang ikhtilaf dikalangan ulama, bukan sesuatu yang baru mucul saat ini.

sebuah kisah yang cukup menarik yang ku baca dari majalah hidayatullah versi website, Adalah Imam Ahmad Rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Imam Ahmad ditanya, “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah Anda bermakmum di belakangnya?”

Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Al-Imam Malik dan Sa’id Rahimahullah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah.

begitulah para imam mujtahid dalam melihat perbedaan pendapat, seharusnyalah kita yang ilmunya hanya sedangkal satu uras jari, yang hanya baru membaca beberapa dalil, baru belajar dalam agama, lebih lagi bersikap santun dan menghargai perbedaan pendapat dikalangan ulama, terutama ulama mujtahid dan muktabar.

jangan sampai hanya gara-gara qunut shubuh, tidak mau sholat subuh disuatu mesjid. Gara-gara merasa "tidak ada dalil" bersalaman ketika habis sholat, lantas tidak mau menyambut uluran tangan orang yang mau bersalaman. gara-gara merasa "tidak tegak hujjah" berdoa berjamaah habis sholat, lantas tiap sholat melakukan amalan rutin sendiri dipojok atau dibelakang tiang tengah mesjid tiap sholat, dengan niat ingin menyelisihi bid'ah.


ILMU TANPA ADAB.

Inilah jadinya jika tidak menanamkan adab sebelum mengajarkan ilmu, sehingga ilmu yang seharusnya menjadi kemaslahatan ummat, bergeser 180 derajat menjadi ilmu yang mendatangkan mudharat. Berikut ku kutip ucapan-ucapan ulama terdahulu berkaitan posisi adab dan ilmu :

Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah :

“Mereka dulu tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun.” (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)

Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah :

“Aku mempelajari adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan merekadulu mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu.” (Ghayatun-Nihayah fi thobaqotil Qurro 1/446)

Dan beliau juga berkata:

“Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu.” (Sifatush-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)

Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-):

“Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu.” (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)

Berkata Abullah bin Mubarak:

“Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak.” (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)

Coba kita renungkan pendapat-pendapat ulama terdahulu berkenaan adab dan ilmu, sudah seharusnyalah para ustadz yang membimbing pengajian untuk memperhatikan betul perkataan mereka. Didik adab para tholabul ilmi sebelum kenalkan mereka dengan ilmu, tanamkan pada tholabul ilmi pentingnya ukhuwah, dahulukan amar ma’ruf sebelum nahi mungkar ditengah masyarakat, ajak kebaikan sebelum cela keburukan, tunjukkan akhlak sebelum nampakkan ilmu. Jangan terapkan “cacian mendahulu pujian” ditengah masyarakat.

Disamping itu semua, terdapat kelemahan yang perlu disadari bagi kaum muslimin umumnya di masyarakat, yakni kurang ilmu dalam beramal, beramal masih dalam sekedar taqlid, tidak ada keinginan mencari hujjah dari apa yang diamalkan, sehingga jika ada yang ‘mengusik’ cara beramal, yang muncul adalah emosi, karena ketidakmampuan menjawab. Andaikan kaum muslimin memiliki atau mengatahui bagaimana hujjah ulama terhadap apa yang diamalkan, tentu tidak akan muncul emosi jika ada yang bertanya tentang hujjah, bahkan dengan senang hati jika ditanya ini itu.

Ibadah itu harus memiliki hujjah, tidak boleh beribadah jika tidak ada hujjah. Kebanyakan permasalahan dimasyarakat adalah bukannya tidak ada hujjah, tapi ketidaktahuan tentang hujjah. Seharusnya minimal masyarakat yang awam juga menyiapkan ‘alat bukti’ seperti anak muda diatas, sehingga bisa juga berucap “ada kok dalilnya, ada bukunya dirumah, kalau mau saya kasi tunjuk”.

Sebagai penutup, saya nasehati diri saya sendiri, anak muda diatas atau sejenisnya, dan masyarakat awam yang sering ketemu dengan anak muda diatas atau teman-temannya :

Dahulukan adab sebelum ilmu,pahami dan berlapang dada lah terhadap perbedaan pendapat dikalangan ulama, carilah ilmu untuk penopang atau sandaran dalam ibadah.

Tanamkan dalam diri bahwa tiap muslim itu bersaudara, dilarang menyakiti hati dan perasaan. Sampaikan dengan hikmah tiap ucapan yang rawan dari ketersinggungan. Jauhi perpecahan gara-gara perbedaan. Jangan jadikan diri kita sebagai fitnah dimasyarakat.

’Dan berpegang teguhlah kamu pada tali (Dien) Allah dan janganlah kamu bercerai berai….’’ (Ali Imran 103)

‘’Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat suksa yang berat,’’ (Ali Imran 105)

‘’Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah(terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat,’’ (Al-An’am 159).


== icun bin abdullah ==

Comments
2 Comments

2 comments:

  1. wuih..bagussss ni tulisannya..(pujian ikhlas-red)

    ReplyDelete
  2. Thx atas tulisan ini...
    1. Umat Islam harusnya berlomba dalam kebaikan sesama.. Jangan sampai umat ini justru berlomba menteror yang lain ketika merasa tertekan.. tetapi harusnya berlomba menunjukkan sebagai umat yang terbaik
    2. Perbedaan dalam diri umat Islam sendiri memang harusnya tidak diperbandingkan apalagi dipertandingkan.. Mari kita sandingkan :)

    ReplyDelete