Friday 13 November 2009

Istri tidak memasak dan mencuci karena tidak wajib?? nikah lagi aja lah..

Pekanbaru, 13 November 2009; Pukul 8.33 WIB waktu laptop.

Istri tidak wajib memasak dan mencuci..?? nikah lagi aja lah..

Sudah sejak lama, ketika menyebarnya tulisan dan pembahasaan dengan berbagai uraian tentang tidak wajibnya istri mencuci dan memasak, ku merasa ada sesuatu yang gak pas dalam penarikan opini. Bukan berarti ku tidak setuju dari kesimpulan pembahasaan, tetapi ada penggiringan pendapat yang bertentangan dengan hati nuraniku. Gimana tidak, pengiringan opini yang membuat seolah-olah memasak dan mencuci itu adalah tanggung jawab suami. Karena suamilah yang berkewajiban menafkahi, yakni memberi makanan dan pakaian. Benarkah semua ini…?? Mari kita simak dari versi pandanganku yang gak ada apa-apanya ini.. :D  

Memang benar, bahwa suami bertanggungjawab terhadap kebutuhan istrinya, baik itu kebutuhan fisik seperti makanan dan pakaian, dan perkara lainnya yang tidak kalah penting, seperti kebutuhan akan mendapat perlakuan yang baik, kasih sayang, bahkan sampai kepada mendapat bimbingan dalam agama, dan sebagainya.

Dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak ada dalil yang secara tegas menyebutkan tentang kewajiban istri untuk memasak dan mencuci, yang ada adalah kewajiban mentaati suami dengan baik. Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa istri wajib mentaati suaminya, dan untuk ketaatan tersebut suami wajib memenuhi kebutuhan istrinya. Suami wajib memberi pakian yang layak untuk istrinya, dan pakaian yang layak itu adalah pakaian yang siap pakai alias bersih tidak kotor dan bernajis.untuk itu sang suami hanya ada 2 altenatif untuk perkara ini, yakni membeli baju yang baru tiap hari, dan yang kedua adalah mencucikan atau dengan memberi upah kepada orang yang mencucikan baju istri, (disini andaikan yang mencuci itu istri, maka tetap dihitung upahnya).

Hal yang sama terjadi dalam perkara memasak, suami wajib memberi nafkan makan kepada istri, dan makanan itu adalah seuatu yang sudah layak dimakan alis siap saji, atau yang bukan sesuatu yang perlu diproses terlebih dahulu oleh istri. Hal ini juga menyebabkan suami hanya memiliki dua altenatif, yakni memasak untuk istri, atau memberi upah kepada orang untuk memasak makanan bagi sang istri (andaikan istri yang memasak, maka tetap dihitung upahnya)

Secara selintas apa yang digambarkan dalam uraian seperti diatas memang layak dan tanpa cacat. Atau secara hukum, hal seperti itu sah-sah saja. Kita tidak bisa menyanggah tentang kewajiban suami akan memenuhi makan dan pakaian istri. Kita juga tidak bisa menyanggah tentang tidak adanya kewajiban istri untuk memasak dan mencuci. Tapi….
Sekali lagi ku katakan.. benarkah seperti itu..??

Kenapa baru sekarang..?????

Seorang istri, sebelum dia menjadi istri, dia adalah seorang gadis. Bergantung penuh kepada orangtuanya, dia memiliki wali tidak hanya ayahnya, tapi juga saudara laki-laki kandungnya, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki ayahnya. Kebutuhan atau nafkahnya diwajibkan kepada orangtua atau walinya. Dia tidak bisa sembarang menikahkan dirinya sendiri kecuali harus melalui orangtuanya atau wali yang sah. Makannya merupakan kewajiban orangtuanya untuk memberikan, pakaiannya merupakan kewajiban orangtuanya untuk memenuhinya. Jadi…, sebelum adanya pengambil-alihan tanggungjawab dari seorang orangtua kepada suami terhadap seorang gadis, perkara kewajiban memberi makan dan pakaian ini sudah ada. Kenapa tidak ungkitkan saja bahwa anak gadis tidak wajib memasak dan mencuci bajunya sendiri?? Kenapa tidak dikatakan saja bahwa ayahnya lah yang wajib memberi baju tiap hari atau mencucikan baju anak gadisnya.??? Bahkan ayahnya lah yang wajib mencucikan baju atau mengupahkan orang untuk mencuci baju anak gadisnya plus ibu si gadis..?? saya kira pendekatan contoh kasus antara suami terhadap istri adalah sama dengan antara ayah dengan anak gadisnya.

Kenapa baru sekarang…????

Tiap manusia yang lahir.., adalah sudah menjadi kehendak ALLAH, DIA lah yang menciptakan manusia, DIA lah yang memelihara, dan DIA lah yang memberi rezeki. Dengan bahasa lainya, sudah menjadi kewajiban ALLAH untuk memberi rezeki kepada makhluknya. Lantas dengan dalil ini, apakah layak kita untuk tidak membuka mulut ketika ingin makan?? Tidak perlu mencari bahan makanan? Tidak bekerja??. Apakah lantas dengan adanya dalil bahwa kewajiban ALLAHlah untuk memberi rezeki dan kewajiban kita hanya beribadah kepadaNya saja, lantas kita bahasakan hal tersebut dengan tidak wajibnya kita menyuapkan makanan ke mulut???
Maha Suci ALLAH dari segala perbandingan. Hal diatas hanya sekedar pendekatan perumpamaan apa yang terjadi antara suami dan istri. Memang benar suami berkewajiban menahkafi istri (dalam hal ini memberi makan), layakkah hal tersebut kita bahasakan dengan istri tidak wajib menanak nasi??. Memang benar bahwa suami berkewajiban memberi pakaian yang layak kepada istrinya, lantas layakkah kita membahasakan hal tersebut dengan istri tidak berkewajiban mengangkat pakaian yang lagi dijemur karena hujan turun..???

Khotimah.
Beginilah jadinya jika hubungan suami istri itu hanya dipandang berdasarkan hak dan kewajiban saja. Pernikahan dilihat layaknya perjanjian kontrak antara pemberi kerja selaku pihak pertama dengan pemborong selaku pihak kedua, yang didalam isi perjanjian kontrak tersebut penuh dengan pasal-pasal yang bersifat baku dan kaku. Padahal pernikahan itu didasari jauuh dari itu, yakni cinta, kasih sayang, saling melengkapi, dan paling utama adalah menggapai ridho ALLAH.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)
Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu. Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis.” (At-Tahrim: 5)


Nb : Istri anda tidak mau menanak nasi dengan alasan bahwa andalah yang wajib menafkahi..?? atau itri anda tidak mau merendamkan pakaian kotornya??
nikah lagi ajalah… 

= = icun bin abdullah = =

Comments
11 Comments

11 comments:

  1. Menarik...Numpang Copas ganzzz...Makasih..

    ReplyDelete
  2. numpang copas juga gan......

    ReplyDelete
  3. Setahu saya sih memang memasak dan mencuci itu bukan kewajiban istri, tapi kewajiban bersama( suami dan Istri ). Dan satu hal yang pasti adalah kewajiban istri adalah Ta'at pada suaminya.
    Tapi kalo masi ga mau masak dan mecuci juga... yahh saya setuju untuk nikah aja lagi.. cari yang rajin masak dan mencuci... he he he

    ReplyDelete
  4. q gak setuju gan, klo istri gak mau masak trus qta cari istri lg yang mau masak. gak da tanggung jawabnya tuh suami. suami punya kewajiban untuk mendidik istri, mengajarinya hal yang baik. menerima kekurangan istri adalah sesuatu yang mulia. selama dia masih punya itikad baik mematuhi suami dan menjaga dirinya dan keluarga. suami gak boleh semena-mena. dilaknat Allah nanti..

    ReplyDelete
  5. Istri punya hak menuntut suami untuk memenuhi kebutuhannya. termasuk dalam berpakaian dan makanan. Namun, saling menghormati dan membantu dalam keluarga adalah kemuliaan dan keharmonisan keluarga..

    ReplyDelete
  6. Assalammualaikum w.wb Juragan.. Mau tanya.. Antara orang tua kita sendiri, istri,anak dan mertua... Bagaimana kita sebagai seorang anak, suami, dan bapak sekaligus menantu bersikap?.. Apakah saya salah kalau medahulukan kepentingan orang tua saya diatas istri,anak dan mertua.. Karena istri saya menyuruh berlaku adil. Tidak adilkah saya.. wasalam

    ReplyDelete
    Replies
    1. w'alaikumsalam..,

      prioritas ketaatan seorang laki2 adalah kepada orangtuanya dibanding kepada istrinya.

      prioritas ketaatan istri adalah kepada suaminya dibanding orangtuanya.
      ========= kutipan ===========
      'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Siapakah wanita paling besar haknya atas wanita?" Beliau menjawab: "Suaminya."

      Aku bertanya lagi, "Lalu siapa manusia yang paling besar haknya atas laki-laki?" Beliau menjawab, "ibunya." (HR. al-Hakim)

      Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang wanita yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit: Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya." (Syarh Muntaha al-Iradat: 3/47)

      Di dalam kitab al-Inshaf (8/362), "Seorang wanita tidak boleh mentaati kedua orang tuanya untuk berpisah dengan suaminya, tidak pula mengunjunginya dan semisalnya. Bahkan ketaatan kepada suaminya lebih wajib."
      ================ akhir kutipan ========

      walaupun begitu.., bukan berarti kita harus mengabaikan hak-hak istri, atau senantiasa mendahulukan orangtua dalam segala hal. Atau bukan berati kita harus senantiasa melebihkan orangtua dibanding anak dan istri. misalnya nih.., klo pas lebaran, sekali lebarannya ke kampung istri ( rumah mertua), sekali keorangtua kita.

      Dengan kata lain tidak salah juga kita memberikan lebih kepada istri dan anak jika tidak mengabaikan hak orangtua.

      jadi kesimpulannya hak orangtua, hak istri, hak anak, dan hak mertua harus ditunaikan. namun jika ada benturan kepentingan, sama berat dan benar pertimbangannya, dan sulit untuk dibagi, maka prioritas diatas berlaku.

      wallahu'alam.. :)

      Delete
    2. Dari Abu ‘Abdir Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, katanya: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
      tentang tiga orang yang terkurung dalam goa..

      Salah seorang dari mereka berkata, "Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya. Aku lebih mendahulukan mereka berdua daripada keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh. Ketika aku pulang ternyata mereka berdua telah terlelap tidur. Aku pun memerah susu dan aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman tersebut kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga mereka bangun dan ternyata mereka barulah bangun ketika Shubuh, dan gelas minuman itu masih terus di tanganku. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka meminum minuman tersebut. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini." Batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa..

      bagaimana tentang mendahulukan di atas?

      Delete
    3. kisah diatas menunjukkan begitu besar ketaatan dan adab seorang laki-laki kepada orangtuanya. Dan laki-laki tersebut bertawassul dengan perbuatannya itu.
      Yang perlu digaris bawahi adalah perbuatan tersebut tidak MUTLAK harus dilakukan oleh siapa pun. orang yang tidak melakukan perbuatan seperti itu bukan berarti ia dihukumi telah mementingkan istri dan anak dibanding orangtua.

      kisah lainnya misalnya, Rosulullah SAW pernah tidur diluar(depan pintu) hanya karena tidak mau mengganggu tidur istrinya. kisah tersebut menunjukkan begitu besar adab dan hikmahnya Rosulullah terhadap keluarganya. Namun bukan berarti kita tidak boleh membangunkan istri kita ketika pulang larut malam.

      wallhu'alam.

      Delete
    4. Hmm.. Jadi.. hadist ini tak berlaku kalau kita dah nikah? “Rugilah, rugi sekali, rugi sekali, seseorang yang mendapati salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya sewaktu mereka sudah diambang senja (usia lanjut), dan tidak memasukkan ia kedalam surga “(HR Muslim)

      Delete
    5. :). ngak ada jalan memansukh-kan (menghapus hukum) hadist yang terakhir saudara bawakan dengan apa yang kita bicarakan.

      saya berusaha menghindari tejebak untuk melakukan istimbath (menarik hukum) dari hadist-hadist yang ada, dan memang bukan kapasitas kita untuk itu.

      Yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai keinginan kita untuk mendahulukan orangtua menyebabkan kita berlaku tidak adil terhadap istri, anak atau mertua kita. Untuk itu kita membutuhkan kebijaksanaan, bermusyawarah dan senantiasa memohon agar Allah membimbing kita.

      wallahu'alam..

      Delete